Membaca Perjalanan ke Atap Dunia karya Daniel Mahendra ini
seperti menyeret kita ikut ada dalam alur ceritanya. Kita seperti
malaikat yang ikut di samping si penulis menyaksikan apa dan ngapain aja
dia. Alur ceritanya mengalir secara runut dan detil tapi tidak
membosankan. Porsi untuk metafornya pas, tidak berlebih. Kadang ada juga
novel yang metaforanya berpanjang-panjang sehingga jadi malas untuk
membacanya.
**Tulisan ini ditulis untuk keperluan bedah buku “Perjalanan ke Atap Dunia“, di Rumah Dunia, Serang, Banten, 3 Agustus 2012. **
Tidak seperti tulisan tentang traveling lainnya yang memulai ceritanya dari lokasi atau objek yang akan diceritakan. “Perjalanan ke Atap Dunia” ini justru memulai dari proses niat, merealisasikan niat, proses realisasi sampai perjalanan/traveling itu sendiri. Hal ini tidak hanya membuat pembacnya tertarik untuk datang ke daerah yang diceritakan tapi juga memahami proses untuk mencapai daerah tersebut. Mulai dari bagaimana mengurus visa, tiket, mengatur waktu, bagaimana menyiapkan dananya sampai mengatur itineraryyang sesuai dengan kantong dan keinginan.
Menarik menyimak bagaimana proses DM yang tadinya menyimpan mimpi untuk pergi ke Tibet karena masa kecilnya membaca komik Tintin di Tibet lalu mimpi itu tiba-tiba membuncah karena seorang teman bernama Ijul. Pada bagian ini saya mendapatkan pelajaran bahwa kita butuh keberanian untuk mewujudkan mimpi. Selama ini seringkali saya punya alasan untuk menunda wujudkan mimpi-mimpi. Padahal sebenarnya itu hanya sekadar menutupi kegamangan karena tidak tahu bagaimana cara mewujudkan mimpi tersebut.