*sebuah tugas kuliah tahun 2000
Ya,
sekali lagi berbicara mengenai Integrasi. Mungkin telah ratusan tulisan, baik
itu berbentuk essay pada berbagai media massa, maupun yang berbentuk buku
mengenai Integrasi atau Disintegrasi di Indonesia; baik yang ditulis oleh
pengamat/peneliti Indonesia, maupun oleh pengamat/peneliti asing. Hampir
semuanya terilhami oleh kasus-kasus yang mengancam
stabilitas, persatuan, dan keutuhan bangsa Indonesia[1]. Mulai dari kasus pemberontakan PKI (PKI Madiun dan G30S/PKI),
PRRI/PERMESTA[2],
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Gerakan Aceh Merdeka (GAM),
Republik Maluku Selatan (RMS), Organisasi Papua Merdeka, Fretilin di
Timor-Timur[3],
Kerusuhan Lampung, Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan, Purwakarta dan Tanjung
Priok atau gerakan Riau Merdeka, Sulawesi Merdeka, atau Andalas Merdeka[4]. Juga banyak kasus konflik
antar etnis dan atau agama, seperti Kasus Dayak/Melayu versus Madura di
Kalimantan (Pontianak, Sampit, Sambas, dan tempat-tempat lainnya), konflik
agama di Poso, konflik agama di Ambon[5], kekerasan terhadap etnis
Cina, dan konflik-konflik lainnya yang jumlahnya puluhan bahkan mungkin
ratusan.
Nyaris
perjalanan bangsa Indonesia selalu diiringi berbagai macam konflik yang
mengancam keutuhan pluralitas bangsa Indonesia. Telah berbagai cara ditempuh
oleh pemerintah untuk meredam konflik-konflik yang terjadi tersebut. Walaupun
disayangkan langkah yang ditempuh lebih banyak dengan jalan kekerasan sehingga
malah membuat konflik semakin menjadi. Sebenarnya sampai periode mantan
Presiden Soeharto berkuasa ke-pluralitas bangsa Indonesia masih bisa terjaga,
baik itu keagamaan maupun kesukuan (etnisitas). Dalam periode tersebut gagasan
mengenai kesatuan dan dalam pluralitas, “Bhineka Tunggal Ika”, terkesan dapat
dipelihara dan direalisasikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Konflik-konflik yang terjadi seperti pada contoh di atas tidaklah bergitu
berarti terutama karena tidak pernah meluas, terisolasi di wilayah tertentu dan
dalam lingkungan tertentu. Baru setelah rezim Orde Baru tumbang, ancaman
disintegrasi bangsa semakin terasa serius.
Bagai
bom waktu, begitu tumbangnya rezim Orde Baru frekwensi, intensitas dan
eksistensitas konflik yang terjadi mengalami peningkatan yang luar biasa. Semua
pihak sangat terkejut akan hal ini. Setelah mendapat pujian atas keberhasilan
dalam pembangunan dan meredam konflik-konflik yang terjadi, bahkan sempat
diramalkan oleh John Nasbitt sebagai salah satu “Macan Asia”, tiba-tiba
Indonesia jatuh ke dalam lembah kehancuran.
Hal ini
bukan berarti konsekuensi logis dari penumbangan rezim Orde Baru, namun
sebaliknya Orde Barulah yang harus bertanggung jawab atas ledakan konflik
tersebut. Penanganan konflik yang selalu ditangani dengan tangan besi, membuat
konflik tersebut menjadi konflik terpendam yang langsung meledak begitu Orde
Baru tumbang. Dengan pola penyelesaian yang cenderung represif tersebut
sebenarnya dapat dilihat bahwa pemerintahan Indonesia sebelumnya (Orde Lama dan
Orde Baru) telah menyadari bahwa Indonesia yang sangat heterogen ini sangat
rentan terhadap yang namanya disintegrasi sehingga memiliki kekuatiran yang
sangat tinggi akan terpecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini,
lalu ditempuhlah jalan yang keras untuk meredam segala bentuk gerakan yang
ditenggarai akan mengancam persatuan dan stabilitas NKRI.
Dan melalui
konsep kebudayaan nasional, pemerintah seakan ingin menyeragamkan kemajemukan
masyarakat Indonesia. Namun penyeragaman kebudayaan majemuk yang dimiliki semua
etnis di Indonesia yang dilakukan pemerintahan Orde Baru tersebut, malah
merusak tatanan sistem nilai masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak mempunyai
acuan nilai yang bisa digunakan untuk menghadapi konflik yang muncul. Salah
satu contoh penyeragaman itu adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa. Peraturan ini secara nyata telah mengakibatkan
sebagian besar kebudayaan kelompok etnik bergeser bahkan terpuruk sampai koma.
Keberadaan konsep
kebudayaan nasional Indonesia patut dipertanyakan. Indonesia sebagai sebuah
bangsa yang merdeka sejak tahun 1945 sesungguhnya belum mempunyai kebudayaan
nasional. Buktinya, sampai sekarang belum ada sistem budaya yang berfungsi
sebagai acuan atau pedoman perilaku bersama bagi seluruh aspek kehidupan warga
negara.
Pola penanganan semestinya
Kemajemukan
bangsa Indonesia ini ditandai oleh adanya suku-suku bangsa yang masing-masing
mempunyai cara hidup atau kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat
sukubangsanya sendiri-sendiri, sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan
pemisahan antara sukubangsa yang satu dengan sukubangsa yang lainnya, tetapi
yang secara bersama-sama hidup dalam dalam satu wadah masyarakat Indonesia dan
berada dibawah naungan sistem nasional dengan kebudyaaan nasional Indonesia yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (Parsudi Suparlan, 1989)
Sedangkan menurut
Leo Kuper, masyarakat majemuk adalah
suatu masyarakat kolonial dimana sebagian orang didominasi oleh para penguasa
dari kebudayaan dan ras yang berbeda yang menunjukan karakter masyarakat dengan
keanekaragaman budaya dan kelas sosial, dengan berbagai cara kondisi
kemajemukan sosial budaya ini muncul dari adanya kontak dengan kebudayaan dan
masyarakat yang berbeda.
Melihat
heterogenitasnya, menangani suatu masyarakat majemuk memang sulit. Ratusan
etnis, agama dan kelompok sosial lainnya nyaris mustahil tidak terjadi konflik
dalam berinteraksi. Hal ini telah dianggap sebagai suatu proses menuju
integrasi nasioanl oleh Ali Mazrui. Menurutnya, proses Integrasi nasional
terbagai atas beberapa tahap, yaitu :
1.
Ko-eksistensi
(keberadaan bersama)
Dalam sebuah negara ada golongan yang hidup bersama-sama,
berdampingan, namun tingkat integrasinya sangat minim, kadang-kadang mereka
tidak saling mengetahui. Hal ini terjadi pada awal proses integrasi nasional,
sebelum merupakan suatu masyarakat majemuk, tapi merupakan batasan wilayah.
2.
Kontak antar
bagian golongan
Hubungan konkrit antar individu yang mewakili golongan,
tidak selalu dalam bentuk damai, tetapi juga berupa konflik/perang, karena
adanya kepentingan bersama, yang belum tentu berkesesuaian.
Tipe-tipe hubungan antar kelompok yang berinteraksi :
a.
Hubungan Dominasi
: dimana ada suatu kelompok atau golongan yang lebih menguasai golongan
lainnya.
b.
Hubungan
kompetitif : terdapat persaingan, jika berhubungan dengan sumber daya yang
terbatas yang sama-sama diinginkan oleh golongan-golongan yang berbeda-beda.
c.
Hubungan konflik
: bisa merupakan lanjutan dari tipe a dan b
3.
Kompromi
Setelah terjadi perang antara 2 golongan, mereka mendapat
kesadaran bahwa antar golongan ini ada sesuatu yang saling diperlukan dan
saling membutuhkan sehingga mencari penyesuaian dan perbedaan dan persamaan
yang dapat menguntungkan kedua golongan, namun masih mempertahankan
identitasnya.
4.
Koalisi Identitas
Penggabungan atau integrasi yang terjadi tidak hanya
integrasi kepentingan, tetapi juga integrasi identitas
Yang terpenting dalam Integrasi nasional adalah :
-
Pengurangan
kekerasan dalam mengatasi konflik. Hal tersebut membutuhkan kemampuan untuk
berkompromi dan salah satunya tidak menonjolkan aspek-aspek bertentangan.
-
Masyarakat tidak
beridentitas total tapi masing-masing bersekutu menjadi identitas nasional
untuk mencapai tujuan yaitu memenuhi kebutuhan dengan tidak bergantung pada
anggapan sendiri saja tapi juga berhubungan dengan orang lain.
-
Adanya ideologi
nasionalisme yaitu pengungkapan perasaan nasional secara agresif dan defensif.
Sebenarnya bukannya
para konseptor integrasi nasional Indonesia tidak mengetahui konsep-konsep ini.
Namun teori ternyata memang tidak semudah pelaksanaannya. Kadang pelaksanaannya
melenceng dari konsep semula, seperti pada syarat integrasi yang dikemukan oleh
Mazrui, bahwa masyarakat bersekutu menjadi indentitas nasional, yang
dijewantahkan menjadi konsep penyeragaman aspek-aspek kehidupan masyarakat
Indonesia sehingga muncul ketidakpuasan dari masyarakat Indonesia yang pada
akhirnya menyebabkan konflik. Padahal yang dimaksud oleh Mazrui bahwa untuk
integrasi nasional dibutuhkan suatu identitas nasional sebagai satu bangsa Indonesia,
terutama ketika berhubungan dengan bangsa lain, bukannya suatu kebudayaan
nasional yang menyeragamkan kebudayaan dari lebih 250 suku bangsa di Indonesia.
[1] Pernyataan berbunyi seperti ini sering dikeluarkan oleh
rezim orde baru dulu sebagai alasan untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Yang pada akhirnya terbukti hanya sebagai pembenaran atas tindakan-tindakan
represif yang dilakukan oleh militer.
[2] Kemudian sedikit terungkap bahwa gerakan ini merupakan
sekedar reaksi daerah atas ketidakadilan oleh pusat, sebagai dampak sistem
sentralisasi dan demokrasi terpimpin yang dijalankan oleh pemerintahan orde
lama. Gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang
dipelopori oleh Dewan Banteng di Sumatera Barat dan sekitarnya sebenarnya hanya
tuntutan atas pembagian penghasilan antara pusat dan daerah yang dinilai oleh
daerah sangat tidak adil. Namun akhirnya oleh Pusat dianggap sebagai
pembangkangan yang mengganggu stabilitas nasional sehingga harus diselesaikan
secepat mungkin yang tentunya dengan jalan militer. Tuduhan sebagai pemberontak
ini mengakibatkan traumatis yang cukup mendalam bagi masyarakat Minangkabau
yang mendiami wilayah Sumatera Barat. Sehingga orang Minangkabau menjadi tidak
percaya diri atau takut untuk terjun ke kancah perpolitikan dan militer, dan
lebih memilih bidang non-pemerintahan dalam berkarir seperti berwiraswasta.
Sejak itulah, kita tidak lagi menemui lagi orang semacam Muhammad Hatta, Agus
Salim, Sutan Syahrir, Muhammad Yamin, Muhammad Natsir, dan Tan Malaka yang
dulunya merupakan pejuang dan konseptor bagi berdirinya Republik ini.
[3] Pada akhir tahun 1980-an terjadi restrukturisasi
organisasi perjuangan rakyat Timtim yang terwujud dalam orgasnisasi CNRT agar
ada perimbangan perjuangan militer dan perjuangan politik. CNRT dipimpin oleh
Kay Rala Xanana Gusmao. Untuk perjuangan diplomasi ke dalam atau ke luar negeri
dipimpin oleh Ramos Horta dan perjuangan militer dilakukan oleh Fretilin yang
berganti nama menjadi Falintil. Dan perjuangan CNRT ini akhirnya membuahkan
hasil. Melalui Jajak Pendapat pada tanggal 30 Agustus 1999, hampir 80 % rakyat
Timtim memilih Hau Hili Ukun Rasikan atau
memilih untuk merdeka. Terlepas dari kecurigaan akan kecurangan oleh pihak
UNAMET (United Mission for East Timor) dan CNRT, yang penulis saksikan langsung
di lapangan, sebagian besar rakyat Timtim memang memilih untuk merdeka karena
tidak tahan akan tindakan represif militer Indonesia baik secara langsung
maupun melalui milisi-milisi pro-otonomi yang sering meneror dan menintimidasi
rakyat.
[4] Gerakan ini banyak muncul pasca orde baru. Mungkin
semacam bentuk euforia reformasi atau ambisi dari sebagian barisan sakit hati
elit politik yang tercampak dari percaturan politk nasional. Terbukti gerakan
ini tidak didukung sepenuhnya oleh rakyatnya sehingga tidak berumur panjang.
[5] Merupakan konflik antar agama yang terbesar sepanjang
sejarah bangsa Indonesia. Berlangsung sejak tahun 1999 hingga sampai sekarang
masih berlangsung. Dari hasil obrolan dengan penduduk Ambon dan menyaksikan langsung
kondisi Ambon, kasus ini malah sekarang seperti disengaja untuk kepentingan
militer. Selama konflik berlangsung, selama ini pula militer akan mendapat
keuntungan secara
ekonomis, salah satunya dengan menyewakan pelabuhan Yos Sudarso yang dimiliki
oleh TNI-AU kepada PT. Pelni, karena pelabuhan Halong yang biasa digunakan oleh
Pelni terletak di perkampungan Islam, sehingga penumpang Nasrani tidak berani
turun di pelabuhan. Belum lagi bisnis persenjataan gelap dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar