Jika terjadi gempa orang Bali akan teriak “idup..idup...“.
Dahulu ketika jama kerajaan, ada seorang janda beranak dua, laki-laki dan perempuan. Pada waktu itu Danau Bratan belum ada. Singkat cerita, sang ibu mempunyai hubungan dengan siluman ular besar, atau ular Naga yang berdiam di dalam lubung padi di dekat rumahnya. Lama kelamaan sang anak mulai menaruh curiga, kenapa ibunya setiap pulang dari hutan selalu naik ke lumbung.
Pada suatu saat, ketika ibunya pergi ke hutan, dia naik ke lumbung. Di dalam lumbung dilihatnya ada tumpukan telur yang ukurannya lebih besar dari telur ayam. Di tengah tumpukan telur tersebut terdapat sebuah telur aneh. Telur tersebur diambil dan dimasak lalu dimakan oleh anaknya yang laki.
Seketika wujud kakaknya berubah menjadi ular. Karena kuatir akan menimbulkan keributan di dalam kampung, mereka pergi ke hutan mencari ibu mereka. Lalu oleh sang adik, kakaknya tersebut digendong lari ke dalam hutan. Di dalam hutan mereka bertemu dengan ibu mereka yang sedang menjalin kasih dengan seekor ular naga. Lalu marahlah mereka, karena menganggap gara-gara Naga tersebut, si kakak menjadi seperti itu. Ditantangnya ular naga tersebut berkelahi. Akhirnya sang kakak yang telah berubah wujud menjadi ular berhasil mengalahkan ular naga tersebut. Namun sayang ibu mereka pun turut meninggal dalam perkelahian itu.
Kemudian mereka berjalan sampai ke arah Bukit Lesung*. Sesampainya disana, sang kakak berpikiran dia harus masuk ke perut bumi, sebab dia telah menjadi Naga, yaitu Naga Gombang. Supaya adiknya tidak kaget, dia lalu menyuruh adiknya mengambil air dengan keranjang. Tujuannya agar ketika dia masuk ke perut bumi, adiknya tidak melihat dan kaget.
Ketika adiknya sibuk mengambil air dengan keranjang tersebut, sang kakak masuk ke dalam kawah gunung**. Saat adiknya kembali dari mengambil air, sang kakak telah berada di perut bumi. Sang kakak berkata, jangan kau tangisi, kakakmu memang sudah takdirnya berada di dibawah (perut bumi). Sesampainya dibawah, sang kakak yang telah menjadi ular Naga tersebut melingkar, seperti posisi ular sedang tidur.
Konon katanya, kalau sang kakak gelisah ingin tau kabar adiknya di atas, dia akan bergerak, yang mengakibatkan bumi menjadi bergoyang. Karena itulah ketika terjadi gempa, masyarakat Bali akan berteriak “idup, idup” sambil membunyikan kentongan, untuk memberitahu sang kakak bahwa adiknya masih hidup di atas.
Dongeng Raja Gobleg Yang Melihat Naga Gombang
Dahulu kala, Raja Gobleg pergi berburu ke Hutan di sekitar Bukit Lesung. Sang Raja diiringi oleh para pengawal dan anjing pemburu yang sangat bagus. Pada saat mengejar kijang buruan, anjing sang raja jatuh ke kawah tempat ular Naga gombang tadi berdiam. Lalu sang Raja memerintahkan kepada pengawalnya mencari rotan yang banyak. Dengan diikat rotan, sang raja lalu turun ke kawah untuk mencari anjing kesayangannya yang jatuh tersebut. Sebelum turun ke bawah, beliau berpesan kepada pengawalnya, kalau nanti rotannya ketika ditarik terasa ringan berarti beliau telah dimakan ular di dalam kawah itu.
Kemudian sang raji turun ke kawah. Setelah diulur beratus-ratus meter, rotan tiba-tiba terasa ringan. Seketika para pengawal teringat pesan sang raja. Menangislah semua pengawal karena menganggap raja mereka telah mati dimakan ular. Akhirnya mereka kembali ke desa Gobleg membawa kabar duka.
Kembali ke dasar kawah, ternyata sang raja tidak dimakan ular. Tetapi dia menemui suatu tempat seperti kehidupan di atas bumi. Sang raja disana bertemu seorang tua. Sedangkan anjingnya diikat di sebelah rumah. Orang tua tersebut kemudian menegur sang raja, “anjing seperti ini aja kamu cari sampai harus mempertaruhkan nyawamu. Sekarang anjing ini untuk saya saja.”
Sang raja karena ketakutan hanya bisa pasrah, “Saya hanya ingin tahu bagaimana nasib anjing saya. Kalau kakek memang menghendaki, silahkan ambil anjing saya ini” jawabnya.
Selama di dasar kawah tersebut, sang raja dijamu dengan baik oleh si kakek. Diajak jalan, diberi makanan yang enak-enak. Selama di sana, sang raja melihat ada seekor Ular Naga besar. Oleh sang Kakek diceritakan, inilah Naga Gombang. Kalau ia ingin tau nasib adiknya di atas sana, maka ia akan bergerak. Akibatnya kalian diatas sana akan goyang (gempa).
Setelah 3 hari berada di dasar kawah, sang raja disuruh kembali ke atas oleh sang Kakek. Sesampainya di istana, sang raja disambut oleh masyarakatnya. Lalu sang raja menceritakan pengalamannya selama di dasar kawah. Termasuk ketika ia melihat naga besar. Raja memberitahu kepada rakyatnya, apabila sang Naga tersebut lah yang meyebabkan bumi ini goyang (atau gempa). Karena ia bergerak-gerak dibawah sana untuk mengetahui kabar adiknya di muka bumi.
Interprestasi Emik
Menurut pak Ngurah Dharma, dongeng tersebut bukan sekedar dongeng pengantar tidur semata. Itu adalah salah satu kearifan nenek moyang dahulu untuk menjaga kelestarian alam. Naga yang tidur diperut bumi merupakan perlambang bahwa perut bumi tidak boleh sembarangan digali. Apabila perut bumi digali sesukanya, maka akan melukai perut naga yang berada di dalamnya. Contohnya adalah kasus lumpur panas lapindo. Perut naga terluka karena dibor tanpa mengindahkan keseimbangan alam. Perut naga ini merupakan refleksi dari perut bumi yang tidak boleh sembarangan atau digali secara serampangan.
Begitulah cara nenek moyang dahulu untuk menjaga kelestarian alam. Walau dengan mitos-mitos yang sepintas lalu terdengar sebagai omong kosong belaka, tetapi ternyata cukup ampuh untuk menahan perilaku-perilaku manusia yang merusak alam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar