Gunung Batur dan Danau Batur |
Dalam lontar Candi Supralingga Bhuana dikemukakan keadaan Bali Dwipa dan Seleparang masih sunyi senyap, seolah masih mengambang di tenga samudra yang luas.
Pada saat itu di Bali Dwipa baru ada
empat buah Gunung, yaitu :
- Gunung Lempuyang di Bagian TImur
- Gunung Andakasa di Bagian Selatan
- Gunung Karu di Bagian Barat
- Gunung Beratan (Mangu) di Bagian Utara
Sehingga keadaan
Bali Dwipa pada saat itu masih labil dan goyah. Keadaan ini kemudian diketahui
oleh Hyang Paspati yang beristana/berParahyangan di Gunung Semeru[2]. Agar
Bali menjadi stabil (Tegteg) Hyang
Pasupati kemudian memerintahkan SangHyang Benawang Nala, SangHyang Naga
Anantaboga, SangHyang Naga Besukih dan SangHyang Naga Tatsaka memindahkan
sebagian puncak Gunung Semeru ke Bali. SangHyang Benawang Nala menjadi dasar
puncak Gunung Semeru yang akan dipindahkan ke Bali. SangHyang Naga Anantaboga
dan SangHyang Naga Besukih menjadi tali pengikatnya. Sedangkan SangHyang Naga Tatsaka
disampig menjadi pengikat puncak Gunung Semeru yang akan dipindahkan ke Bali,
juga sekaligus menerbangkan dari Jawa Dwipa Wetan ke Bali. Kemudian setelah
tiba di Bali, bagian puncak gunung Semeru yang dibawakan dengan tangan kanan
menjadi Gunung Udaya Purwata/Tohlangkir/Gunung Agung.yang dibawa dengan tangan kiri
menjadi Gunung Cala Lingga atau kemudian disebut Gunung Batur[3].
Kedua gunung
inilah yang kemudian dikenal sebagai Dwi
Lingga Giri,yang menjadi Parahyangan Purusa Peredana[4]. Selain
memerintah SangHyang Benawang nala, SangHyang Naga Aantaboga, SangHyang Naga
Besukih, dan SangHyang Naga Tatsaka; Hyang Pasupati juga menugaskan putra-putranya ke Bali
Dwipa, yaitu :
I.
Dwi Linga Giri Purusa Predana :
a.
Pura Kahyangan Besakih (Purusa)
b.
Pura Kahyangan Ulun danu Batur (Segara Danu sebagai Predana)
II.
Tri Lingga Giri :
a.
Pura Lempuyang Luhur (Brahma)
b.
Pura Besakih (Siwa)
c.
Pura Ulun Danu Batur (Wisnu)
III.
Sapta Lingga Giri
a.
Hyang Geni Jaya Ring Gunung Lempuyang, paraHyangNya[5]
di Pura Lempuyang Luhur
b.
Hyang Putra Jaya ring Gunung Udaya Parwata/Gunung
Tohlangkir/Gunung Agung, paraHyangNya di Pura Besakih
c.
Hyang Dewi Danu ring Gunung Cala Lingga/Gunung Batur[6]
d.
Hyang Tumuwuh ring Gunung Batukara, paraHyanganNya di Pura
Watukaru.
e.
Hyang Tugu ring Gunung Andakasa, paraHyangNya di Pura
Andakasa
f.
Hyang Manuk Gumuwang ring gunung Beratan/Puncak Mangu/Puncak
Tinggahan, paraHyangNya di Pura Ulun Danu Beratan/Pura Tinggahan.
g.
Hyang Manik Gayang/Galang ring Pejeng, parahyangNya di Pura
Manik Corong.
Putra-putra Hyang
Pasupati inilah yang kemudian menjadi Amongan, Sungsungan dan Penyiwian, Ratu
Muang Kaula di Bali Dwipa. Salah seorang Putra Hyang Pasupati yaitu Hyang Dewi
Danu dalam bahasa Purana adalah Dewi Sri, Dewi Laksmi, Dewi Pratiwi, dan Dewi
Basundari yang semuanya merupakan Abiseka Dasa Nama (mempunyai nama lain) Dewi
Kesuburan, Dewi Kesejahteraan, dan Kewi Keberuntungan Sakti Dewa Wisnu[7]
3.1Kronologis Pembentukan Kaldera Batur
Gunung Bumbulan
(bubulan, dungulan, penulisan), Gunung Payang, dan Gunung Abang menjadi satu
dengan Gunung Batur Purba yang ketinggiannya mencapai 3500 mdpl. Amblasnya
bagian kerucut yang membentuk kaldera satu, kira-kira 29.300 SM, dimana Gunung
Abang berdiri sendiri dengan ketinggian lebih kurang 2.152 mdpl. Amblas kedua
kalinya, kira-kira 20.150 SM, dimana kerucut Gunung Payang, kerucut Gunung
Bumbulan/Penulisan membentuk undagan Kintamani.
Lama kelamaan
muncul Gunung Kecil (anak Gunung Batur Purba) di tengah danau Batur berpucak Dua (pucak Kanginan dan pucak Kawanan). Maka dari itu desa Pekraman
Batur ada dua Jero, yaitu Jero Gede Kanginan (dijabat oleh Jero Gede Duhuran
Puri Kanginan), dan Jero Gede Kawanan (dijabat oleh Jero Gede Alitan Puri
Kawanan).
Nama Gunung Sebelum Bernama Gunung Batur
1.
Gunung Cala Lingga (Cala
= tidak bergerak dan tidak dibuat oleh manusia; Lingga = Tempat abadi para Dewa)
2.
Gunung
Sinarata (Merata kena sinar matahari)
3.
Gunung
TampurHyang/Tempuh Hyang (Tanda Ida Betara dalam perjalanan yang digonggong
(dipikul) oleh pamucangan)
4.
Gunung
Lebah (rendah)
5.
Gunung
Ederan (dikelilingi Bukit)
6.
Gunung
Lekeh (meingkar)
7.
Gunung
Sari (Inti/Utama)
8.
Gunung
Indrakila (dikelilingi Munduk)
9.
Gunung
Kembar (berpuncak dua)
10. Gunung Catur (Gunung berempat)
11. Gunung Batur (Gunung Dasar)
Catatan Meletusnya Gunung Batur
Berdasarkan isi lontar Raja Puranan Pura Ulun Danu Batur
di Batur bagian Babad Pati Sora dijelaskan pada tahun Candra Sangkala :
- Angeseng Sasi Wak yaitu tahun Saka 110 (188 Masehi), Gunung Batur meletus
- Wang Sasi Wak yaitu tahun Saka 111 (189 Masehi), Gunung Batur meletus
- Tahun Saka 112 (190 Masehi), Gunung Teluk Biyu meletus
- Wedang Sumiranting, ksiti yaitu Tahun Saka 114 (192 Masehi), Gunung Batur meletus.
- Dari tahun 1804 – 2000 Gunung Batur meletus sebanyak 30 kali. Letusan yang paling dahsyat yaitu pada tanggal 2 Agustus – 21 September 1926 jam 23.00 WITA yang laharnya menimbun Desa Batur dan Pura Ulun Danu Batur. Dengan pertolongan pemerintah Hindia Belanda, para narapidana, serta Batun Sendi Ida Betara (Bayung Gede, Sekardadi, Bonyoh, Selulung, Sribatu, Buahan, Kedisan, Abang, Trunyan, dll) seisi Desa Batur dapat menyelamatkan diri. Termasuk pusaka-pusaka seperti Gong Gede, Semar Kirang bale Pelinggih Mamas-mamas (tombak Lerontek). Semuanya diselamatkan ke Desa Bayung Gede. Setelah pindah ke Di Desa Bayung Gede ini pernah di adakan Puja Wali sebanyak dua kali. Kemudian karena merasa telah aman, penduduk Desa Batur yang sementara mengungsi ke Desa Bayung Gede ingin kembali ke lokasi desa mereka kembali. Namun tidak diijinkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan alasan keselamatan masyarakat. Di tempat baru tersebut, yang disebut Kalanganyar, penduduk Desa Batur diberi lahan dengan ketentuan yang sudah berkeluarga sebanyak 3 are dan untuk Duda/Janda mendapat 1,5 are. Selama menghuni Kalanganyar, para penduduk Desa Batur tetap berupaya membagun kembali Pura Ulun Danu Batur di tempat semula. Setelah beberapa tahun, tepatnya pada bulan April 1935, dilaksanakan Ngusaba Kedesa untuk pertama kali di Pura Ulun Danu Batur yang baru tersebut[8].
Pada tahun 1963,
6 bulan setelah meletusnya Gunung Agung, terjadi kembali letusan Gunung Batur
yang cukup besar. Korban jiwa pada saat itu tidak ada. Letusan ini kembali
menimbun Desa Batur dan Pura Ulun Danu Batur. Sehingga semua penduduk mengungsi
dan pindah desa ke lokasi desa Batur sekarang ini.
Ada cerita
menarik yang disampaikan oleh Jero Gede Alitan Puri Kawanan, yaitu pada saat
lahar mau memasuki desa Batur, lahar tersebut berhenti. Kesempatan ini
dimanfaatkan oleh penduduk untuk menyelamatkan barang-barang mereka. Bahkan ada
yang sempat memanen bawang di ladangnya terlebih dahulu. Setelah semua
barang-barang dan hasil kebun mereka selamat, lahar yang tadinya berhenti
bergerak kembali menuju arah desa sampai menimbun seluruh desa tersebut.
Setelah pindah desa tersebut, kecuali terkena debu, sampai saat ini tidak
pernah terkena dampak langsung dari letusan Gunung Batur.
[1] Sumber : Sumber : I Wayan Sukadia, Selayang Pandang Pura Ulun Danu
Batur; Bhakti Pekelem Segara Danu Lan Gunung, Desa Adat Batur, Kintamani –
Bangli dan Wawancara dengan Pemangku Pura Ulun Danu Batur, 8 Maret 2007
[2] Sampai saat ini
masyarakat Hindu Bali masih menganggap bahwa Gunung Semeru adalah salah satu
Pura Utama.
[3] Nama lain dari Gunung
Batur dulunya adalah Gunung TampurHyang/Gunung Sinarata/Gunung Lekeh/Gunung
Lebah/Gunung Ideran/Gunung Sari/Gunung Indrakila/Gunung Kembar/Gunung Catur
[4] Tempat bersemayamnya paa
Dewa penguasa alam raya.
[5] Maksud dari paraHyangNya
adalah berdiam/bersemayam. Sedangkan Nya adalah kata ganti dari Tuhan/Dewa
[6] Atau Gunung
Sinarata/Gunung Tampurhyang/Gunung Lekeh/Gunung Ideran/Gunung Indrakila/Gunung
Kembar/Gunung Sari
[7] Dewa Wisnu merupakan Dewa
Pemelihara Alam
terimakasih infonya
BalasHapusBaru tau kalo cerita nya seperti ini, thanks dah sharing :)
BalasHapusdan gw baru tau yg mana mas Cumi itu :))
Hapuswow keren infonya mas yudi ;)
BalasHapussemoga berguna mbak turis :)
HapusHarus Di Lestarikan....
BalasHapus