skripsi S1 Antropologi karya Yudi Febrianda dengan judul :
"Mitos Anak Gembel di Dataran Tinggi Dieng", 2003
silahkan menggunakan isinya untuk kepentingan akademis, penulisan, dll asal mencantumkan sumbernya
Ki Temenggung Kolodete atau Kyai Kolodete |
Sifat “aeng” yang melekat (inherent)
pada nama “Dieng” tidak hanya didominasi oleh ajaibnya fenomena alam dan
peninggalan bersejarah situs komplek percandian Dieng saja. Akan tetapi juga
“Ke–aeng–an” atau “keanehan” terlihat pada bentuk rambut anak-anak Dieng yang
berjalin-jalin membentuk ikatan yang saling melekat keras tidak mudah diurai,
yang oleh masyarakat Dieng disebut “gembel” atau “gimbal”.
Warna
rambut anak-anak itu berwarna coklat, dan bila bentuk dan warna rambut anak itu
kita amati, ternyata mengesankan rambut yang tidak terurus dan tidak terawat
baik, mirip dengan gaya rambut bintang sepak bola kenamaan Belanda, Ruud
Gullit. Namun “gaya” rambut anak-anak
Dieng bukan buatan tetapi alami.
Fenomena rambut gembel ini hanya dapat ditemukan pada masyarakat
Wonosobo dan masyarakat yang hidup di lereng Gunung Sundoro.
Kalau
tadi disebut “aneh”, maka yang dimaksud ialah proses terjadinya rambut gembel
ini tidak terbawa sejak lahir, melainkan biasanya terjadi ketika anak berumur
40 hari sampai 6 tahun. Proses itu biasanya didahului oleh
gejala-gejala fisik, seperti sakit-sakitan, suhu tubuh yang terus bertambah
panas melebihi suhu panas tubuh normal,
juga Ngromet (Jawa) atau mengigau
waktu tidur (gejala psikis).
Bila
dilihat dari aspek diagnosis medis, maka gejala-gejala tersebut justru mengacu
kepada adanya suatu penyakit yang sedang menyerang tubuh manusia sebagai
penyebab dan gejala-gejala tadi merupakan akibatnya.
Oleh
karena itu tindakan yang wajar, bila gejala-gejala itu dihadapi dengan sikap
terapeutik (pengobatan). Memang sikap
inilah yang diambil oleh orang tua anak tersebut dengan cara membawa dia ke
Puskesmas, selain itu juga dilakukan pengobatan tradisional dengan cara
mengompres ubun-ubun anak itu dengan halusan bawang merah yang telah dicampur
dengan minyak kelapa agar suhu panas tubuhnya berkurang dan dia menjadi sembuh.
Dewi, sang anak gembel menjelang diruwat |
Bila
“proses menjadi” itu sudah terjadi (dan itu berarti bahwa rambut normal telah
menjadi gembel), maka gejala tersebut lenyap dengan sendirinya
dan anak terebut menjadi sembuh. Sebaliknya kondisi psikis (kejiwaan)
anak berubah. Sikap
dan tindakannya menjadi agresif, agak sukar diatur, artinya
perlakuan-perlakuan “dibiarkan”
menjalani hidupnya menurut alur dan dinamika jiwanya sendiri.
Rambut gembel yang sudah dicukur melalui ruwatab |
Jika
di sini terlihat adanya “gejala dan relasi yang aneh”, meskipun telah ada
tindakan secara medis maupun tradisional terhadap anak tersebut. Akan tetapi
tidak memperlihatkan tanda-tanda kesembuhan dari penderitanya, maka orang
tuanya segera menafsirkan, bahwa gejala dan keadaan itu sebagai petunjuk gembel dalam proses menjadi, dan kedua
orang tuanya lalu memutuskan anaknya dibiarkan saja rambutnya panjang selama
enam sampai delapan tahun. Bila hal ini dilanggar, maka akan mendatangkan
bencana bagi anak itu. Kemungkinan anak itu akan mengalami sakit berat. Dan
apabila sembuh maka pikirannya akan terganggu.
Makin
hari makin panjanglah rambutnya dan makin jelas bentuknya, yaitu berkait-kait
menjadi satu dan berombak. Sekarang orang mengatakan, bahwa ia menjadi Anak
gembel, anak berambut gembel ini tidak karena keturunan, juga tidak bisa
menular.
Masyarakat
Dataran Tinggi Dieng membedakan bentuk rambut gembel menjadi empat macam, yaitu
:
- Rambut gembel yang disebut gembel pari, yaitu rambut gembel yang merupakan kumpulan rambut yang menjadi satu dan kecil-kecil.
- Rambut gembel yang disebut gembel debleng, yaitu rambut gembel yang besar-besar dan lebih banyak.
- Rambut gembel yang disebut gembel jata, yaitu rambut gembel yang mirip rambut gembel debleng tetapi lebih besar.
- Rambut gembel yang disebut gembel wedus, yaitu rambut gembel yang agak berlainan bentuknya, rambut gembel ini pendek-pendek tetapi berkumpul menjadi satu seperti bulu domba.
Kadang-kadang
rambut gembel ini tidak seluruhnya gembel, tetapi hanya pada bagian-bagian
tertentu saja, misalnya :
- Disebut gombak, bila rambut gembel itu tumbuh dikepala bagian belakang.
- Disebut petek, bila rambut gembel itu tumbuh dikepala bagian samping diatas kedua telinga.
- Disebut kuncung, bila rambut gembel itu tumbuh diatas ubun-ubun, yaitu kepala bagian muka.
Mengenai
bentuk dan dan letak rambut gembel itu tidak menjadi persoalan pokok, sebab
menurut pandangan masyarakat Dataran Tinggi Dieng dan sekitarnya mempunyai nilai yang sama.
Masyarakat
Dataran Tinggi Dieng percaya bahwa gembel yang terjadi pada anak-anak mereka
merupakan titipan dari danyang atau penjaga daerah dataran tinggi Dieng yang
bernama Kyai Kolodete. Siapakah Kyai
Kolodete itu ? menurut legenda yang beredar di masyarakat Desa Dieng Wetan Kyai
Kolodete konon kabarnya adalah seorang yang menjabat sebagai pemimpin, seorang
penasihat dan seorang yang sangat berpengaruh dalam masyarakat didaerah
kawedanan Kretek dan sekitarnya. Beliau adalah seorang Kyai yang mempunyai rambut gembel, menjabat sebagai kebayan
desa Tegalsari, Kretek, Wonosobo, putera Kyai Badar yang sakti dan bermukim didesa Tegalsari.
Seperti
halnya harapan pemimpin masyarakat lainnya, Kyai Kolodete bermaksud memajukan
kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga dan masyarakatnya. Beliau sangat disegani masyarakat karena
sifatnya dan sikapnya telah dipandang memenuhi syarat seorang pemimpin.
Pada
suatu hari, Kyai Kolodete mencalonkan diri untuk menjabat sebagai sebagai
Lurah, permohonan ini diajukan kepemerintah pusat, yaitu Mataram. Permintaan
itu ditolak tanpa memberikan alasan yang tepat.
Ditolaknya permintaan itu membuat hati masyarakat menjadi kecewa,
demikian juga Kyai Kolodete, beliau merasa malu terhadap rakyatnya dan sebagai
pertanggungan jawab atas ditolaknya permohonan tersebut, beliau ingin
mengasingkan diri dari keramaian dan ingin bertapa di Dataran Tinggi Dieng.
Sebelum bertapa, beliau berpesan
kepada rakyatnya sebagai berikut :
“ Mung semene wae anggonku njuwita
Pamarintah, aku arep menjang Dieng “ (Hanya sampai sekian aku mengabdi kepada
Pemerintah, aku akan ke Dieng)
Kemudian beliau memohon
kepada dewata, agar supaya cita-citanya dahulu, yaitu membahagiakan dan
mensejahterakan masyarakat terkabul.
Tanda bukti kecintaan Kyai Kolodete kepada masyarakatnya hendaknya
dewata turut merestui. Tanda bukti itu ialah supaya anak cucunya nanti dikemudian
hari akan berambut gembel seperti halnya rambut Kyai Kolodete, permohonan itu
benar-benar dikabulkan oleh dewata, bahwa sampai sekarang di Dataran Tinggi
Dieng dan sekitarnya banyak terdapat anak berambut gembel. Oleh masyarakat,
anak berambut gembel ini disebut Anak Gembel dan dianggap cucu Kyai Kolodete
yang berkekuatan gaib itu.
Kyai
Kolodete, disamping dianggap sebagai nenek moyang, juga dianggap sebagai
danyang masyarakat Dataran Tinggi Dieng.
Berdasarkan “kekuatan kebenaran mitos” yang dianut masyarakat Dieng, dia
lah yang dipercaya sebagai penguasa atas desa atau daerah mereka, termasuk di
dalamnya Desa Dieng Wetan. Barangkali juga “dia berkuasa” atas beberapa segi
kehidupan mereka (khususnya anak-anak mereka yang terkena gembel), yang
setidaknya dengan menyelenggarakan upacara ritual meruwat rambut sebagai bukti
lahiriah dari sistem kepercayaan yang dianut, menguatkan dugaan bahwa “pengaruh oknum gaib”, yang
dikenal dengan nama Kyai Kolodete itu, cukup kuat.
Mengacu kepada konsep
“penguasa”, yang secara harfiah berarti “orang yang berkuasa mengatur,
mengaendalikan, melindungi atau menguasai”, yakni diyakini being existed (ada dan melekat sebagai bawaan) dalam diri Kyai
Kolodete, tentu lebih merujuk kepada “pemahaman dan pengalaman spiritual” dalam dimensi alam gaib dunia empiris. Artinya, dalam dunia nyata kehidupan
sehari-hari “atribut kepenguasaan” Kyai Kolodete, dalam “ukuran-ukuran”
tertentu turut mempengaruhi dan mewarnai perilaku dan sikap mereka terhadap
perihal hidup yang sedang dijalani dan terus bergerak.
Perlu dicatat di sini,
bahwa masyarakat Dieng dan masyarakat-masyarakat (komune) yang hidup di
pedukuhan di beberapa wilayah kabupaten Wonosobo, di mana masyarakatnya
“mewarisi” dan meyakini kebenaran mitos yang sama seperti yang diwarisi dan
dianut oleh masyarakat Dieng, pada umumnya mereka cenderung mewarisi “tata
upacara yang sama atau mirip sama” dalam meruwat rambut anak gembel.
Kalaupun ada perbedaan,
maka itu bukan yang prinsipil, melainkan hanya menyangkut beberapa unsur
“perlengkapan” saja sebagai “variasi” karena mitos telah ditafsirkan menurut
“versi” masing-masing komune.
Menurut legenda, yang
diyakini dan dipercaya penduduk desa Dieng Wetan bahwa anak yang mempunyai
rambut gembel, menurut kepercayaan penduduk, tidak akan dipotong atau dicukur
rambutnya apabila belum ada permintaan dari si anak. Datangnya permintaan dari
si anak pada umumnya kalau ia sudah berumur 8-12 tahun. Itupun disertai
permintaan yang aneh-aneh. Seorang penjual sayur di kawasan kawah Sikidang
menuturkan, anak saudaranya ketika minta potong rambut gembelnya juga minta
dibelikan baju dan celana berwarna merah ditambah buah jeruk lima buah. Ini
permintaan sederhana. Namun ada juga yang minta pertunjukan wayang kulit,
bahkan ada permintaan yang rada-rada aneh dan diluar akal sehat manusia, yaitu
ada kasus seorang anak gembel yang ketika meminta rambutnya dipotong, anak tadi meminta seratus buah kepala ayam, atas dasar itulah maka
penduduk berkeyakinan bahwa itu adalah bukan murni dari permintaan si anak yang
berambut gembel akan tetapi merupakan permintaan dari “yang menitipkan” rambut
gembel tadi. Dari beberapa keterangan yang didapat, bahwa apabila rambut gembel
tadi dipotong tanpa sepermintaan si anak, maka akibat yang didapat adalah
apabila rambut tersebut tumbuh, maka akan kembali gembel atau gimbal lagi, jadi
jelaslah, untuk mencukur bocah berambut gembel harus di sertai upacara adat.
Upacara itu disebut “ruwatan” potong rambut.
Dalam konteks upacara
potong rambut gembel ini istilah (term) “meruwat” yang berasal dari akar kata
“ruwat” yang berarti membersihkan sesuatu atau seseorang dari bala penderitaan
atau kutukan. Jadi, dengan ritus meruwat rambut gembel berarti telah
membebaskan atau melepaskan seseorang dari kungkungan nasib yang kurang
menguntungkan yang membelit hidupnya.
Apabila anak berambut
gembel sudah minta di cukur, segera orang tuanya berupaya melaksanakan upacara.
Mula-mula mereka mengadakan kenduri selamatan yang bermakna mohan agar selalu
ada dalam keadaan selamat. Syarat dan perlengkapan upacara lainnya juga
dipersiapkan dalam selamatan tersebut. Layaknya sebuah ritus tradisional
umumnya, maka unsur sesaji yang mengandung relasi makna simbolik dengan
“sesuatu” yang kepadanya orang mengatakan “bakti”nya, dan sekaligus merupakan
“korban persembahan” kepada “yang dipuja”
adalah unsur penting.
Dalam pelaksanaan
upacara “potong gembel” ini di kawasan Dieng mempunyai banyak versi. Meskipun
demikian masing-masing versi bermakna memohon agar selalu dalam keadaan
selamat. Menjelang upacara pemotongan, kurang lebih pada usia enam sampai tujuh
tahun, yaitu pada saat tanggal gigi susu yang pertama kalinya, maka anak gembel
harus dicukur rambutnya. Upacara ini ada yang diadakan secara besar-besaran dan
ada juga yang dilaksanakan secara sederhana.
Tidak jarang terjadi bahwa bagi keluarga yang kurang mampu, pencukuran
tersebut dilakukan dengan cara menitipkan pada kerabat yang terdekat yang
dianggap berada. Langkah ini dimaksudkan
supaya tidak banyak mengeluarkan biaya.
Pada hari yang telah
ditetapkan, biasanya diambil hari lahir atau weton anak gembel itu dan hari
lainnya yang dianggap keramat atau dianggap baik berdasarkan petungan. Upacara ini biasa dilakukan di rumah anak
yang akan diruwat atau dirumah saudara dari bapak atau ibu dari anak yang akan
di ruwat ini didasarkan pada faktor biaya, upacara ini biasanya dilaksanakan
pada sore hari sekitar pukul empat sore dengan perhitungan bahwa sore hari,
penduduk yang kebanyakkan petani sudah ada dirumah, sehingga acara ini dapat
dihadiri minimal oleh para tetangga terdekat, yang mayoritas pekerjaannya
adalah petani kentang.
Sebelumnya, anak gembel
itu diberi hiasan pakaian yang baik, serba putih bersih yang hal ini
melambangkan kesucian dan kebersihan.
Satu jam sebelumnya, anak gembel disuruh duduk dilantai yang beralaskan
tikar dan kain putih diantara hadirin.
Pemimpin upacara yang
biasanya adalah tokoh masyarakat atau orang yang dianggap mampu (modin
atau kaum), duduk didekat anak gembel tadi, tepat dihadapan anak gembel
diletakkan beberapa sesajian diantaranya, tiga macam tumpeng (bucu) sebagai
unsur sesaji, masing-masing : bucu putih,
bucu kuning dan bucu robyong, bucu robyong adalah nasi tumpeng putih yang
dihiasi dengan bermacam-macam lauk-pauk, semua bucu tersebut diletakkan diatas
kain putih.
Makna
simboliknya adalah, bucu putih
melambangkan keselamatan bagi si anak, misalnya terhindar dari hal-hal yang
tidak diinginkan. Bucu kuning melambangkan
“korban persembahan” kepada Nabi Muhammad Saw, dan Bucu robyong sebagai persembahan kepada Kyai Kolodete, yang
diyakini sebagai “oknum gaib yang berkuasa”
yang “menitipkan gembel” itu pada
anak mereka.
Disamping tiga macam tumpeng tersebut sebagai unsur sesaji
utama, terdapat juga “persembahan” lain berupa “jajanan pasar” yang terdiri
dari berbagai macam kue, seperti kue apem, ketan, dan lain-lain. Yang memiliki
makna kebersamaan.
Menurut penduduk Desa
Dieng Wetan, sebagai syarat dan perlengkapan dalam pelaksanaan upacara
selamatan, yaitu berupa uang logam, kain putih, gelang, cincin, bokor, atau
mangkuk berisi air jernih dan daun dadap srep, kembang setaman serta apa yang
disebut “jajan pasar”.
- Tiap benda tersebut mempunyai makna atau simbol tentang sesuatu : Bunga mawar warna merah dan putih, disamping melambangkan kasih sayang orang tua (ayah bunda) juga mengandung maksud agar si anak nanti senantiasa harum mewangi namanya didalam masyarakat, berarti supaya ia menjadi orang yang baik dan berguna bagi masyarakat.
- Bokor, dimaksudkan sebagai tempat agar si anak dapat menguasai diri dan bertindak jujur dan baik. Juga berpikir secara wening (jernih) seperti jernihnya air dalam bokor.
- Logam, dimaksudkan supaya anak dapat menerima petuah atau nasehat orang tua dan yang dianggap tua, agar kelak dapat mengamalkan kebajikan.
- Daun Dadap Srep, diartikan agar anak selalu dingin (srep = asrep) yang maknanya selalu sehat walafiat serta berkepala dingin, tidak emosional.
Sarana perlengkapan lain biasanya
berupa “ingkung” segeluntung daging ayam yang sudah dimasak. Bermakna agar
tetap menjaga diri serta mengendalikan diri. Pelengkapan “jajanan pasar” yang
berupa buah-buahan dan makanan kecil bermakana agar si anak dapat membuahkan
kebaikan atau sesuatu yang dapat dimanfaatkan masyarakat.
Setelah semuanya itu
siap dan telah ditempatkan pada tempatnya, anak yang mau dipotong gembelnya itu
dibawa dengan diiringi orang tua dan keluarganya pergi melihat-lihat barang
permintaannya, sesajian apa saja yang telah tersedia yang berkenaan dengan
ritus cukur gembel. Baru kemudian sang
anak di bawa masuk ke ruang tempat upacara akan berlangsung dan didudukkan dipangkuan
ibunya dibawah naungan payung dan diterangi lampu templok yang ditempatkan
dihadapannya.
Penggunaan payung
mengandung makna simbolik untuk melindungi si anak dari hal-hal yang tidak
diinginkan. Sebab, ketika pencukuran gembel dilakukan si anak “berada dalam
masa kritis”, gampang terserang macam-macam gangguan dari makhluk halus.
Kemudian wali anak gembel menyerahkan kepada orang yang dipercaya untuk
memimpin upacara untuk mencukur rambutnya, orang yang dipercaya untuk memimpin
upacara ruwatan adalah orang yang oleh masyarakat setempat dianggap mampu untuk
melaksanakan upacara tadi, biasanya orang tersebut adalah tokoh adat dan tokoh
agama, baik yang dilakukan oleh tokoh agama maupun oleh tokoh adat, bentuk dan
tata caranya upacaranya tetap sama, seperti
jenis sesajian, alat-alat yang dipergunakan, yang membedakan adalah doa - doa
yang diucapkan atau dibacakan, upacara yang dipimpin oleh tokoh agama biasanya
doa – doa yang dibacakan adalah ayat-ayat yang ada atau terdapat dalam kitab
suci al – quran, seperti Surat Al –fatihah, dan Ayat Kursi, sedangkan upacara
yang dipimpin oleh pemimpin adat biasanya ada bacaan-bacaan khusus, yang isinya
dalam bahasa Jawa. Sebelum acara dimulai wali memilih orang tertentu, biasanya
kerabat yang tertua, untuk menyampaikan sepatah dua patah kata sambutan kepada
hadirin tentang maksud diadakannya acara.
Kemudian salah seorang yang tertua dari kerabat itu berkata :
“Sederek
sedaya, kula atas naminipun ingkang gadah hajad, dalu punika sederek sedaya
dipun aturi lenggahan wonten ngriki.
Dahar eca boten, sarehne Naja (nama orang yang mempunyai acara) bade
anetakaken gembelipun, para sederek sedaya kula aturi maringi idi pangestu lan
wilujeng”
artinya :
“Para
hadirin, kami atas nama yang mempunyai kerja, pada malam ini para hadirin
diberi kesempatan hadir disini. Tidak
untuk makan enak karena Naja akan mengkhitankan gembelnya, kami mohon para
hadirin untuk memberi restu”
Setelah selesai, wali
bertanya kepada anak gembel tentang permintaannya atau kaulnya yang telah
direncanakan dahulu, Gembele jaluk apa ?
(Gembelnya minta apa ?). Anak gembel
itu menjawab seperti permintaannya dahulu, misalnya minta disembelihkan kerbau
atau minta diadakan pagelaran wayang kulit.
Kemudian ayahnya memegang anaknya yang gembel itu sambil bertanya lagi
tentang permintaannya setelah dicukur.
Ulangan pertanyaan ini dimaksudkan sebagai pengecekan pada pertanyaan
pertama yang telah diajukan oleh wali tadi.
Apakah pendiriannya tetap, atau berubah.
Jawaban anak gembel akan didengar dan disaksikan oleh segenap hadirin.
Apakah ayahnya nanti akan mematuhi permintaan anaknya atau tidak, karena
permintaan anaknya itu dianggap mengandung kekuatan gaib. Kadang-kadang bila dia takut menjawab, maka
salah seorang dari kalangan keluarganya mewakilinya untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu.
Sedangkan anak gembel
hanya menirukan saja apa yang dijawab oleh wakilnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi
jawaban yang bagi orang tuanya terlalu berat untuk melaksanakannya nanti.
Setelah itu barulah
dilaksanakan upacara pencukuran dengan mengucapkan doa mantra sambil menyebut
nama Kyai Kolodete, nenek moyang rambut gembel, dan rambut gembelpun di potong,
diiringi pembacaan shalawat oleh hadirin sampai pencukuran selesai. Saat
dimulainya pencukuran, seluruh perhatian hadirin dipusatkan kepadanya. Kemudian pemimpin upacara mengucapkan do’anya
:
“Salamun warun, salamun tipa upa huluha minal ngabidin . Salamun hiya chatamat langil pajar
dirommatika ya rochama ya rochimi”
artinya :
“Berilah rahmat dan selamat leluhur kami, malam ini kami
menikmati rahmat – Mu, semoga kita mendapatkan rahmat dunia dan akhirat”
Do’a
tersebut diatas walaupun tidak jelas redaksinya, tetapi kita dapat mengerti,
bahwa do’a itu dipengaruhi bahasa Arab, do’a yang serupa yang diucapkan untuk
mengiringi upacara. Setelah pemimpin
upacara memberi restu kepada gunting yang akan dipakai untuk memotong rambut
gembel, terlebih dahulu mengucapkan kata-kata sebagai berikut :
“Wesi Pulo Sani, sira tak kon motong gembele si ……………… (nama
anak), sira aja mindo gaweni, sira tampa rasa”
artinya :
“Besi Pulau Sani, engkau kusuruh memotong si gembel …………………
(nama anak), janganlah engkau mengulangi pekerjaan, janganlah engkau mempunyai
perasaan yang tidak baik”
Kata-kata tersebut
diatas mengandung pengertian, bahwa gunting itu diharapkan juga dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Kemudian pemimpin upacara (biasanya bapak Modin atau Tokoh Paguyuban
Kejawen Kaki Tunggul Sabdo Jati Doyo Among Rogo) tersebut berkata : “Napa kula napa sinten ?”(Saya atau siapa
?”). Maksudnya siapa yang harus
memotong rambut gembel itu lebih dahulu.
Kemudian para hadirin menjawab : “Sedaya
diwakili Bapak mawon !” (Semua diwakili Bapak saja!”).
Pencukuran gembel
dilakukan dengan memasukan ali-ali (Jawa = cincin) bunton yakni cincin yang kedua ujungnya tidak saling bertemu,
kedalam ikatan rambut gembel kemudian di potong. Penggunaan cincin bunton ini
dimaksudkan agar pencukuran tidak sampai mengenai kulit kepala. Selain itu
cincin ini juga memiliki makna atau lambang supaya anak gembel dikemudian hari
sesudah dicukur tetap berumur panjang dan dapat bekerja dengan lancar.
Kemudian rambut itu
disiram dengan air kembang dan dimasukkan kedalam cincin bunton tadi, kemudian
dipotong dengan gunting sebanyak tujuh kali. Tujuh kali potongan ini dilakukan
sebagai syarat saja. Sedangkan
pelaksanaan pemotongan dihabiskannya rambut gembel itu sama sekali dilaksanakan
lain waktu.
Potongan rambut gembel yang
pertama-tama, yaitu sebanyak tujuh kali itu, disimpan baik-baik didalam suatu
tempat, yaitu pedaringan. Disimpan
dibawah pedaringan ini dimaksudkan supaya beras itu terkena kekuatan gaib
rambut gembel sehingga diharapkan beras itu tidak habis.
Setelah pencukuran
selesai, pemimpin upacara atas nama keluarga memanjatkan do’a syukuran sebagai
tanda terima kasih sekaligus memohon berkat kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya
sang anak dan keluarganya dilindungi serta di berkati dalam perjalanan hidup
mereka. Dengan berlakunya gema doa syukur itu, maka berakhirlah pula upacara
tradisional meruwat rambut gembel itu. Tahap terakhir dari upacara ruwatan
gembel tadi, adalah pemimpin upacara berkewajiban untuk membuang potongan
rambut si anak ke sungai ( Jawa = melarung
), maksudnya adalah untuk “mengembalikan” rambut tadi kepada yang
“menitipkannya” dalam hal ini Kyai Kolodete, yang dipercayai berada di Laut
Selatan. Pada masyarakat Desa Dieng Wetan, pelarungan ini biasa dilakukan di Sungai Serayu atau di Telaga
Pengilon ( Jawa = Cermin / Kaca ), karena diyakini bahwa Sungai Serayu dan
Telaga pengilon ini bermuara di Laut Selatan. Penyelenggaraan upacara meruwat
rambut gembel, pada dasarnya merupakan bentuk lahir dari suatu skepercayaan
yang dianut. Tetapi juga sekaligus “cara”
bagaimana “kanjeng” Kyai
Tumenggung Kolodete sang “penguasa” yang diyakini sebagai “penitip” rambut
gembel, mengambil kembali “barang titipannya” dari anak tersebut.
Disini terlihat bahwa
“fungsi jembatan” yang “tercipta” oleh upacara ini, melalui mana kedua pihak
(Kyai Tumenggung Kolodete dan pihak keluarga sang anak gembel) membina suatu
“relasi” atau “nisbah” spiritual, “nisbah” ini akan makin jelas menampakkan
diri, entah mereka insyaf atau tidak, ketika mereka berusaha mewarisi kebenaran
mitos tersebut kepada anak cucu mereka, atau pada ketika mereka mengisahkan
kepada orang lain. (YF)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar