Pada suatu
ketika di sebuah forum media sosial masyarakat suatu wilayah yang memiliki
pertambangan di Kalimantan, ada sebuah postingan tentang kisah Sawahlunto pasca
tambang. Disitu diceritakan bagaimana Sawahlunto sempat down dan perekonomian nyaris kolaps hingga muncul inisiatif, ide
kreatif dan usaha keras dari Pemerintah dan masyarakatnya untuk membangkitkan
kembali Sawahlunto. Ada yang menanggapi bahwa pemerintah dan perusahaan tambang
harus menyiapkan pasca tambang. Ada yang menanggapi bahwa masyarakat juga
berperan besar dalam persiapan pasca tambang tersebut. Tidak ada yang salah.
Semua memang benar. Semua pihak, baik itu Pemerintah sebagai pengambil
kebijakan dan sang penguasa wilayah adalah tokoh kunci dalam persiapan pasca
tambang. Perusahaan tambang yang memang punya kewajiban dan itu ditetapkan
dalam berbagai peraturan negara. Dan
yang tidak kalah penting adalah masyarakat sekitar tambang itu sendiri
Alam pada
dasarnya punya mekanisme sendiri untuk mencari keseimbangannya. Proses alam
mencari keseimbangan tersebut terkadang merupakan bencana bagi manusia karena menimbulkan
kerusakan dan korban. Jika kita berandai-andai, areal bekas tambang yang sudah
dikuliti, diambil isinya, bukit menjadi lembang, lembah menjadi bukit, ditinggalkan
begitu saja, kelak dalam suatu kurun waktu – tentunya cukup lama – akan
berproses kembali ke fungsi asalnya. Atau jika pun tidak, tetap terbuka begitu
saja, alam tidak akan protes. Ini jika kita berandai dan melihat dari
presfektif alam. Beda halnya jika kita melihat dari sudut pandang manusia.
Manusia akan banyak menerima dampak dari kenyataan alam tersebut. Manusia juga
yang berperan dalam perubahan alam tersebut. Dan yang jelas manusia juga yang
mengambil manfaat dari alam tersebut. Pokoknya manusia adalah aktor tunggal,
dalang intelektual dari perubahan-perubahan yang terjadi pada alam.
Berbicara
tentang pasca tambang, saya tidak menyoroti tentang bagaimana mengembalikan
hutan yang sudah dibabat. Bagaimana mengembaikan bukit atau gunung yang telah
menjadi lembah. Bagaimana mengembalikan lembah yang sudah menjadi gunung. Bukan
itu tidak penting. Justru sangat penting. Tapi untuk hal ini, segala peraturan
sudah dibuat dan dilaksanakan. Reklamasi bagi usaha tambang adalah wajib
hukumnya. Jika tidak dilaksanakan maka “berdosa”. Bahkan ada jaminan reklamasi
sebelum dilakukan perlambangan, yang jumlahnya konon tidaklah kecil.
Dalam menghadapi
pasca tambang, 3 elemen utama yaitu perusahaan tambang, pemerintah dan
masyarakat sekitarnya harus berperan aktif dan sinergi. Tidak bisa hanya menyerahkan
masalah tersebut pada satu atau dua pihak saja. Harus tiga-tiganya. Tentu
dengan peran, porsi dan kapasitas yang berbeda. Pemerintah berperan sebagai
pengambil kebijakan, pelaksana undang-undang dan pengawal pelaksanaan.
Perusahaan sebagai tokoh utama pertambangan, dan masyarakat sebagai pihak yang
harus menerima hasil baik. Ketiganya tidak berdiri sendiri dengan peran
masing-masing. Semuanya saling terkait. Pemerintah yang diberi amanah oleh
masyarakat untuk mengurusi hal sebagai yang disebutkan pada Pasal 33 UUD 45, “...2.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi
Negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara, 3. Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat..”.
Sedangkan
perusahaan adalah pihak yang diberi kepercayaan oleh pemerintah/negara untuk
mengolah hasil alam dengan tujuan kemakmuran rakyat. Sebagai pihak yang diberi
mandat, tentu perusahaan selalu dikawal oleh pemerintah dalam pelaksanaan
mandatnya. Ada kewajiban-kewajiban yang melekat pada perusahaan untuk menjamin
terpenuhinya kemakmuran rakyat tadi. Sebagai contoh adalah pajak, royalti dan
tanggung jawab sosial sebagai kewajiban moral. Namun selain itu ada dampak lain
dari keberadaan peruahaan tambang di suatu daerah, yaitu dampak tidak langsung.
Banyak usaha ekonomi mikro maupun makro tumbuh seiring dengan semakin tumbuhnya
perusahaan tambang tersebut. Sebagai
contoh kecil saja, daerah Maluk dan Sekongkang di Sumbawa Barat. Sebelum
dimulainya pertambangan mineral oleh PT Newmont Nusa Tenggara, kehidupan di
sana dulu sangatlah sepi. Hanya ada beberapa penduduk dan ternak serta lahan
yang kosong. Jika magrib tiba, maka Maluk seperti kota mati. Gelap dan sepi. Setidaknya
begitu menurut cerita salah seorang tua di Maluk sewaktu saya mengunjungi Maluk
pada 2013 lalu Diana saat itu jam 10 malam pun masih terang benderang dan masih
banyak aktivitas penduduk di jalanan. Ada banyak usaha ekonomi dari yang kecil
seperti warung nasi pecel lele, usaha Ojeg, warung kopi sampai usaha besar
seperti rental kendaraan, kontraktor, dll, semua tumbuh pesat dan berimbas pada
kemajuan ekonomi masyarakatnya.
Selanjutnya,
masyarakat sebagai pihak yang menjadi tujuan kemakmuran sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 33, ayat 3 UUD 45 juga (harusnya) mempunyai peran aktif dalam
menata dan merencanakan dan menyiapkan diri untuk menghadapi pasca tambang. Perubahan
untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran kuncinya adalah masyarakat itu sendiri. Ibarat
permainan sepakbola, masyarakat adalah striker yang menjadi ujung tombak
membuat gol, yaitu kemakmuran tadi. Pemerintah dan perusahaan sebagai bel dan
gelandang tengah yang bahu membahu menjaga garasi pertahanan dan mengirimkan
umpan-umpan kepada striker. Bagaimanapun bagusnya umpan dan kuatnya pertahanan
tapi jika striker tidak berhasil membuat gol, maka kemenangan takkan dapat
diraih. Hasil maksimal adalah imbang. Kecuali pemain lawan bikin gol bunuh diri
J
Begitu juga dengan
konteks dalam menghadapi masa tambang dan pasca tambang. Hasil yang didapat
oleh pertambangan yang disalurkan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk
kepentingan hajat hidup orang banyak (infrastruktur, peningkatan SDM, dll)
berupa pajak dan royalti dan hasil yang disalurkan langsung kepada masyarakat
melalui program-program Community Development atau CSR serta hasil tidak
langsung harusnya dapat menjadi pondasi kokoh untuk landasan menjadi masyarakat
yang sejahtera dan makmur.
Jangan sampai
hasil dari tambang tersebut justru membuat masyarakat terlena dengan selalu
menampungkan tangan menerima pemberian saja. Jika bisa di-analogi-kan,
Pemerintah adalah Bapak, Perusahaan tambang adalah Ibu dan masyarakat adalah
anak-anak yang harus dibesarkan dan dijamin kesejahteraannya. Pada saat masih
kecil, anak-anak wajib disuapi, dibimbing hingga diajarkan berbagai ilmu
pengetahuan untuk bekal dia nanti ketika dewasa. Namun ketika sudah mulai
remaja dan dewasa, anak sudah harus bisa mandiri. Tidak menetek lagi sama ibu
dan menadahkan tangan pada bapaknya.
Di beberapa
tempat yang saya baca berita dan alami langsung, ada kecenderungan masyarakat
seperti anak manja yang selalu menjadikan perusahaan dan pemerintah sebagai
ratu adil yang akan menyulap hidupnya menjadi nyaman. Solusi dari masalah hidup
adalah perusahaan dan pemerintah. Ketergantungan ini akan menjadi ancaman besar
ketika memasuki fase pasca tambang. Jangan sampai masa-masa ketika tambang
masih berproduksi dan kesempatan untuk meningkatkan infrastruktur dan kualitas
SDM ada justru disia-siakan karena hanya sekedar untuk mencapai kemakmuran
sesaat.
Kita bisa
mengambil contoh pada Sawahlunto di Sumatera Barat. Pada sekitar akhir 90an,
tambang batu bara di Sawahlunto yang sudah berjalan selama 100 tahun lebih
akhirnya tutup. Penambangan dinilai sudah tidak lagi ekonomis. PT. Bukit Asam
sebagai induk perusahaan PT Batubara Ombilin pun angkat koper. Usaha-usaha lain
yang terkait dengan keberadaan tambang pun satu per satu tutup. Sawahlunto
mengalami fase tsunami ekonomi. Hingga akhirnya
pemerintah daerah mencoba masyarakatnya untuk bangkit dengan menggali potensi
baru dan komoditas baru, yaitu pertanian dan pariwisata. Dahulu Sawahlunto sama
sekali tidak dilirik untuk jadi tujuan wisata. Fasilitas dan area bekas tambang
disulap menjadi tempat wisata. Dan terbukti sekarang ekonomi Sawahlunto kembali
bangkit. Sekarang Sawahlunto menjelma menjadi ikon baru pariwisata di Sumbar.
Untuk daerah
yang masih aktif kegiatan pertambangannya, mumpung masih ada waktu ada baiknya
pemerintah, masyarakat dan perusahaan bersinergi bahu membahu menyiapkan fase
pasca tambang. Dan itu harus dilakukan secara terprogram, sistematis dan
berkesinambungan. Bagi masyarakat, pergunakanlah kesempatan yang ada untuk
meningkatkan kualitas diri dan merintis usaha yang akan menjadi tumpuan di masa
depan. Dalam Al-Quran, surat Ar-Ra'd ayat 11 menyebutkan ....إِنَّ اللَّهَ لا
يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى
يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ .... artinya: “Sesungguhnya Allah
tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa
apa yang pada diri mereka ”. Pelaksanaannya memang tidak semudah pengucapakannya.
Setidaknya dari pemikiran dan adanya kesadaran.
Bagi pemerintah,
segeralah siapkan komoditas dan potensi baru yang akan menjadi pengganti
tambang nantinya. Di beberapa daerah, PAD didominasi dari sektor tambang. Ada yang
mencapai sekitar 80%. Bayangkan jika tambang tutup, Pendapatan daerah tersebut
hanya tinggal 20%. Potensi dan komoditas baru tersebut disiapkan bersama-sama
dengan masyarakat. Karena pada akhirnya masyarakat jualah motor penggeraknya. Semisalnya
sektor pertanian, bukan pemerintah yang bertani kan? Atau industri kreatif,
pengrajinnya bukan pemerintah kan? Pemerintah hanya perlu menyiapkan regulasi,
proteksi hulu-hilir dan mekanisme pasar. Sedangkan bagi perusahaan tambang, sebaiknya
tidak sekedar menunaikan kewajiban saja tapi juga memposisikan diri sebagai saudara
kandung yang mendorong tumbuhnya masyarakat mandiri, kreatif, maju dan makmur.
Ini hanya
sekedar opini yang sangat bisa diperdebatkan. Mari kita diskusi jika ada
pemikiran lain yang bisa memperkaya pemikiran kita. Yang jelas, tujuan kita
hanya satu, bagaimana pasca tambang masyarakat bisa tersenyum tujuh turunan J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar